Saturday, June 9, 2012
Pengamat ekonomi Universitas Sumatera Utara (USU), Jhon Tafbu Ritonga, mengemukakannya kepada MedanBisnis, Jumat (8/6). Menurutnya, hanya holding BUMN non-perkebunan yang dapat dipastikan memberikan manfaat besar untuk rakyat. "Ini pengalaman dunia karena perusahaan tersebut bisa menguasai dunia. Untuk holding perkebunan tunggu dulu, apalagi di Indonesia tidak ada yang sanggup menjalankan holding ini," ujarnya.
Pemerintah telah membentuk holding BUMN Perkebunan yang membawahi 14 PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia, di mana total asetnya mencapai Rp 50 triliun. Holding BUMN Perkebunan yang dipimpin oleh Dirut Megananda Daryono itu menjadikan Sumut sebagai pusat aktivitas manajemennya. Perusahaan ini memproyeksikan laba bersih sebesar Rp 5,3 triliun pada akhir tahun 2012, melonjak dari tahun 2011 yang sebesar Rp 3,6 triliun.
Ritonga menjelaskan, pengaruh eksternal negatif terhadap holding BUMN perkebunan ini yakni akan mempertinggi frekuensi perampasan lahan seperti pengalaman PTPN2 lalu, di mana rakyat harus menjarah lahan kembali karena sudah terjepit, baik di kota maupun di desa. "Pemukiman untuk rakyat sudah tidak ada lagi, maka pembentukan holding perusahaan ini diproyeksikan akan memperluas lahan perkebunan yang kini dimiliki," katanya.
Menurutnya, holding perkebunan di Indonesia memang sulit untuk dilakukan dengan kondisi pertanian rakyat yang juga sudah menyempit karena lahan-lahan banyak dijadikan industri. Padahal, pemerintah masa Presiden Soeharto sudah mengantisipasi redistribusi tanah (landreform) dan konsep plasma inti rakyat (PIR). Tapi anehnya pada masa Orde Baru semua tidak terealisasi sehingga rakyat tetap kehilangan hak atas lahan.
"Contohnya saja kalau sebanyak 20ribu hektare lahan PTPN2 di Langkat bisa dimanfaatkan oleh rakyat dalam konsep PIR, maka bayangkan bisa menambah pendapatan ratusan jumlah keluarga di kabupaten tersebut," ucap Ritonga.
Sedangkan untuk efisiensi pemasaran holding perkebunan ini melalui satu pintu, lanjutnya, tidak akan tercapai karena belum ada orang di Indonesia yang bisa mengurus pemasaran tersebut.
Malah, katanya, dicurigai dengan holding ini akan menimbulkan privatisasi kepemilikan, seperti holdingnya PTPN2 dan PTPN9 di Sumut yang amburadul di mana sekitar 30% manajemennya sudah ketinggalan."Holding perkebunan tidak semudah holding sektor perusahaan lain, ini berhubungan dengan tanah, jadi tidak membawa manfaat apa-apa," tuturnya.
Hal yang sama dikatakan pengamat ekonomi Universitas HKBP Nommensen Medan, Dr Parulian Simanjuntak. "Holding ini sudah mengarah pada privatisasi dan akan memudahkan pelepasan lahan kepada orang lain lebih luas," katanya.
Katanya, keuntungan yang diperoleh Sumut terhadap holding ini juga harus jelas karena kalau cuma efisiensi itu urusan menteri. Dampak negatif holding ini hanya kebijakan berada pada satu tangan atau sentralisasi. "Kalau dari kebijakan mungkin holding ini bermanfaat, tapi apakah Sumut mendapatkan keuntungan?" jelasnya.
Pengamat ekonomi dari Universitas Medan (Unimed) Muhammad Ishak menjelaskan, holding company merupakan kebijakan yang dalam dunia usaha hampir disetarakan dengan merger. Kalalu merger, perusahaan yang bergabung akan kehilangan identitas, menjadi identitas baru dari hasil penggabungan tersebut. Sedangkan kalau holding tidak, tapi kepemimpinan atau manajerialnya dari suatu perusahaan dapat memengaruhi perusahaan lain. "Untuk jangka pendek, holding akan mengalami gangguan dalam beroperasi, sebab perusahaan induk akan selalu berusaha memaksa kehendak atau gaya menejerialnya ke perusahaan yang dipengaruhinya. Tetapi, manakala menejerial induk secara cepat dan taktis menangkap permasalahan, maka hambatan opresional itu akan teratasi," ungkapnya.
Kata Ishak, kelebihan pola holding ini, jika pengaruh yang dimainkan perusahaan induk dapat direalisasikan oleh perusahaan subsidiaries (anak perusahaan). Sebab, perusahaan subsidiaries juga punya kuasa/peluang untuk berseberangan dengan kebijakan induk. "Holding itu hanya teknis dalam pengelolaan bisnis, jadi, manfaat yang akan dirasakan secara nasional ya hanya ongkos operasionalnya bisa lebih murah. Tapi, jangan dijadikan sapi perahan bagi induvidu/kelompok lain," imbuhnya.
Dia mengatakan pola holding ini akan mempeluangi induvidu/kelompok dari luar perusahaan untuk mengambil keuntungan atas hubungan parent (induk) dan subsidiaries seperti dalam masalah pajak. Transaksi antara induk dan subsidiaries itu biasanya mengandung unsur transfer pricing. Selain itu, kebijakan bisnis bisa terpusat sehingga otomatis akan mempeluangi parent untuk mengambil sebanyak mungkin dari subsidiaries. "Untuk Sumut itu sama saja manfaatnya seperti sebelum holding,"pungkas Ishak. (yuni naibaho)/MB