Padahal,
selama ini komoditas kakao termasuk salah satu komoditas ekspor
unggulan Sumut yang selalu eksis memperkuat barisan ekspor Sumut melalui
terminal peti kemas BICT. Asisten Manajer Hukum dan Humas Pelindo I
BICT H Suratman yang dihubungi MedanBisnis melalui sambungan selular,
Selasa (19/6), mengatakan, selama ini komoditas kakao termasuk salah
satu komoditas ekspor unggulan Sumut yang dikapalkan dengan menggunakan
kontainer melalui BICT.Namun sejak tahun 2011, kata juru bicara
pengelola terminal peti kemas terkemuka di luar Pulau Jawa itu,
aktivitas ekspor kakao Sumut yang dikapalkan ke mancanegara melalui
terminal peti kemas BICT terus turun.
Sepanjang 2011, kata Suratman, ekspor kakao Sumut melalui terminal peti kemas BICT tercatat sebanyak 38.972 ton. Sementara tahun 2010 jumlahnya 51.062 ton atau merosot sekitar 23,67%. Kemudian hingga lima bulan pertama tahun 2012, jelas Suratman, aktivitas ekspor kakao Sumut melalui BICT tercatat sebanyak 16.493 ton, sedangkan periode serupa 2011 jumlahnya mencapai 22.590 ton atau merosot sekitar 26,98%.
Sebelumnya eksportir kakao yang tergabung dalam Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) mengeluhkan pemberlakukan bea keluar (BK) sebesar 5%-15% sesuai Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No 67/PMK.011/2010. Askindo mengklaim aturan itu telah berdampak pada iklim usaha.
Wakil Sekretaris Askindo Sohinder Dingri Sonny kepada pers mengatakan, pemberlakuan Permenkeu No 67/PMK.011/2010 yang efektif 1 Mei 2010 mengakibatkan para trader kakao asing tak lagi kompetitif dalam membeli kakao dari petani karena harus membayar bea keluar atau pajak ekspor.
“Kami coba bertahan selama dua tahun ini, ternyata kami sangat kewalahan mendapatkan bahan baku karena perbedaan harganya yang sangat mencolok akibat adanya regulasi BK ini. Pilihan kami mau tidak mau kita memilih memindahkan usaha kami ke Vietnam yang tidak memiliki regulasi BK ekspor dan kualitas biji kakaonya lebih baik dari kakao Indonesia,” katanya, Senin (18/6).
Sonny menambahkan, para trader asing kakao tidak bisa bersaing dalam pembelian kakao dengan pihak industri pengolahan Cacao Liquor karena pihak industri pengolahan kakao tidak dikenakan BK ekspor seperti yang diterapkan pada trader multinational company yang bergerak di bisnis kakao.(wismar simanjuntak)/MB
Sepanjang 2011, kata Suratman, ekspor kakao Sumut melalui terminal peti kemas BICT tercatat sebanyak 38.972 ton. Sementara tahun 2010 jumlahnya 51.062 ton atau merosot sekitar 23,67%. Kemudian hingga lima bulan pertama tahun 2012, jelas Suratman, aktivitas ekspor kakao Sumut melalui BICT tercatat sebanyak 16.493 ton, sedangkan periode serupa 2011 jumlahnya mencapai 22.590 ton atau merosot sekitar 26,98%.
Sebelumnya eksportir kakao yang tergabung dalam Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) mengeluhkan pemberlakukan bea keluar (BK) sebesar 5%-15% sesuai Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No 67/PMK.011/2010. Askindo mengklaim aturan itu telah berdampak pada iklim usaha.
Wakil Sekretaris Askindo Sohinder Dingri Sonny kepada pers mengatakan, pemberlakuan Permenkeu No 67/PMK.011/2010 yang efektif 1 Mei 2010 mengakibatkan para trader kakao asing tak lagi kompetitif dalam membeli kakao dari petani karena harus membayar bea keluar atau pajak ekspor.
“Kami coba bertahan selama dua tahun ini, ternyata kami sangat kewalahan mendapatkan bahan baku karena perbedaan harganya yang sangat mencolok akibat adanya regulasi BK ini. Pilihan kami mau tidak mau kita memilih memindahkan usaha kami ke Vietnam yang tidak memiliki regulasi BK ekspor dan kualitas biji kakaonya lebih baik dari kakao Indonesia,” katanya, Senin (18/6).
Sonny menambahkan, para trader asing kakao tidak bisa bersaing dalam pembelian kakao dengan pihak industri pengolahan Cacao Liquor karena pihak industri pengolahan kakao tidak dikenakan BK ekspor seperti yang diterapkan pada trader multinational company yang bergerak di bisnis kakao.(wismar simanjuntak)/MB