Jakarta. Eksportir kakao yang tergabung
dalam Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) mengeluhkan pemberlakuan bea
keluar ekspor biji kakao sebesar 5-15% sesuai Peraturan Menteri Keuangan
No 67/PMK.011/2010. Askindo mengklaim aturan itu telah berdampak pada
iklim usaha.
Askindo menilai ketentuan bea keluar terhadap kakao berdampak pada
hengkangnya beberapa perusahaan trader multinational yang bergerak di
bisnis kakao di Indonesia. Para trader asing memilih memindahkan
usahanya dari Indonesia ke Vietnam.
Wakil Sekretaris Asosiasi
Kakao Indonesia (Askindo) Sohinder Dingri Sonny yang juga Direktur PT
Coklat Murni, mengemukakannya saat ditemui di Warkop Az-Zahra,
Makassar, Senin (18/6).
Sonny mengatakan, pemberlakuan Permenkeu
No 67 Tahun 2010, yang efektif pada 1 Mei 2010 lalu, mengakibatkan para
trader kakao asing tidak lagi kompetitif dalam membeli kakao dari
petani, karena harus membayar bea keluar atau pajak ekspor."Kami coba
bertahan selama dua tahun ini, ternyata kami sangat kewalahan
mendapatkan bahan baku karena perbedaan harganya, yang sangat mencolok
akibat adanya regulasi bea keluar ini, pilihan kami mau tidak mau kita
memilih memindahkan usaha kami ke Vietnam, yang tidak memiliki regulasi
bea keluar ekspor dan kualitas biji kakaonya lebih baik dari kakao
Indonesia," tuturnya.
Dalam setahun, lanjut Sonny, perusahaannya
memasukkan devisa negara sebanyak US$ 35 juta. Selain perusahaannya,
beberapa perusahaan trader kakao asing di Sulawesi Selatan (Sulsel) juga
sudah hengkang ke Vietnam.
Di Sulawesi Selatan terdapat 12
trader multinational company yang bergerak di bisnis kakao. Jika ke-12
trader ini memilih angkat kaki dari Sulsel, Sonny memperkirakan devisa
negara akan hilang sekitar US$ 350 juta di Sulsel. Dari total produksi
kakao nasional, 70% di antaranya berada di kawasan Sulawesi.
Sonny
menambahkan, para trader asing kakao tidak bisa bersaing dalam
pembelian kakao dengan pihak industri pengolahan Cacao Liquor, karena
pihak industri pengolahan kakao tidak dikenakan bea keluar ekspor
seperti yang diterapkan pada trader multinational company yang bergerak
di bisnis kakao.
Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar berujar
bea keluar justru memberikan perkembangan positif bagi industri
pengolahan kakao dalam negeri dan masuknya beberapa investasi baru.
Progres
positif itu tampak dari peningkatan kapasitas produksi industri
domestik dari 130.000 ton pada 2009 menjadi 280.000 ton pada 2011. Dia
menyebutkan enam perusahaan kembali beroperasi, tiga pabrik menambah
kapasitas terpasang dan lima pabrik kembali beroperasi normal.
Selain
itu, tambahan investasi baru juga mengalir ke dalam negeri, sehingga
akan meningkatkan kapasitas produksi industri pengolahan (grinding
capacity) menjadi 400.000 ton pada 2014. Satu investasi baru masuk dari
Malaysia, yakni Guan Chong Bhd yang mendirikan PT Asia Cocoa Indonesia
di Batam senilai US$17 juta dengan kapasitas produksi 65.000 ton. Ada
pula produsen coklat asal Swiss, yakni Barry Callebaut AG bekerjasama
dengan PT Comextra Majora mendirikan usaha patungan PT Barry Callebaut
Comextra Indonesia dengan investasi US$33 juta.
Belum lagi
Daniels Midland Cocoa (ADM Cocoa) dari Singapura, Cargill dari Amerika
Serikat (AS) dan JB Cocoa dari Malaysia yang merelokasi pabriknya ke
Indonesia."Ini menunjukkan bea keluar biji kakao mampu mendorong
pengembangan industri, sehingga nilai tambah dapat dinikmati di dalam
negeri," ujar Mahendra.(dtf)/MB