Hal itu tentu membuat masyarakat resah
karena penurunan harga yang begitu tajam seperti Karet dari Rp15.000/Kg
menjadi Rp7.000/Kg.
Begitu juga dengan harga tanda buah
segar (TBS) kelapa sawit di tingkat penampung turun drastis dari Rp
1.600 menjadi Rp 1.070 perkilogram.
Seperti dikatakan salah seorang petani,
Aris (27) warga Gunungtua, kemarin, harga getah karet beberapa pekan
terakhir turun sebesar Rp 8.000 per kg.
” Mau bilang apa, harga turun hingga
kisaran Rp 7.000 per kg, akibat turunnya harga karet petani merugi
jutaan rupiah per hektar,” katanya.
Untuk menyiasati kerugian lebih besar
ini, lanjutnya petani memilih tidak menjual karetnya dan menyimpannya di
kolong rumah atau di belakang rumah hingga kondisi harga normal.
“Menyimpan bagi yang memiliki modal
untuk keperluan rumah tangga, tetapi bagi yang tidak memiliki simpanan,
mereka tetap menjual dengan harga murah,” ungkapnya.
Hal senada diungkapkan, Ishak Harahap
(39). Menurutnya, anjloknya harga jual getah karet ini terjadi diluar
dugaannya, sehingga pendapatan masyarakat yang memiliki lahan tanaman
karet berkurang di luar hari biasanya.
“Petani karet mulai malas menderes,
begitu juga tukang deres sudah banyak yang tidak mau bekerja sebagai
penderes. Sebab, hasil menderes tidak mampu lagi untuk menopang
kehidupan rumah tangga, apalagi dalam sistem upah dengan memakai sistem
bagi hasil,” terangnya.
Keduanya berharap harga getah karet dan
harga sawit tidak sampai anjlok lagi, karena sebagian besar masyarakat
sangat bergantung dengan kebun karet.
Kalau harga anjlok tentu saja sangat
merugikan petani. Demikian petani sebagaimana dikutif dari situs
Kementerian BUMN, kemarin. (rapi)C-I