Dharmasraya, —Turunnya
 harga sawit dalam beberapa waktu terakhir, membuat petani makin 
menjerit. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan selisih harga sawit 
yang dijual di Dharmasraya lebih rendah ketimbang dijual luar 
Dharmasraya. Akibatnya, cicilan bank menjadi “bayang-bayang” di 
belakang petani.
Jika hal tersebut tidak 
secepatnya ditangani bukan tidak mungkin perekonomian Dharmasraya akan
 tiarap. Soalnya,  sebagian besar perekonomian Dharmasraya bergantung
 kepada sektor itu.
Aswad, seorang warga 
mengungkapkan, pemkab sepertinya tutup mata dengan kondisi ini. Pada
 hal ini menyangkut kelangsungan hidup masyarakat Dharmasraya 
khususnya.
“Jika tidak segera di tangani, bukan tidak mungkin ekonomi Dharmasraya akan ambruk,” jelasnya.
Di samping itu jelasnya, 
lobi pemkab dalam menetapkan harga sawit di Dharmasraya juga terkesan 
melempem. Pemkab terkesan patuh dan taat pada harga yang ditetapkan 
pabrik. Seharusnya pemerintah punya nilai tawar dengan pabrik dalam 
menetapkan harga.
Kondisi saat ini, sudahlah 
harga sawit terus mengalami penurunan, harga di Dharmasraya  juga 
lebih rendah dibanding luar Dharmasraya.
Sebagai contoh, harga sawit 
di pabrik yang ada di Dharmasraya sebesar Rp1.225 per kilogram, 
sementara di pabrik luar Dharmasraya seperti Kabupaten Bungo sebesar 
Rp1.500 per kilogram. 
Bisa dihitung berapa 
kerugian masyarakat Dharmasraya jika menjual ke pabrik yang ada di 
Dharmasraya. Contoh lain, ada toke yang berasal luar Dharmasraya 
sanggup membeli sawit kepada petani dengan harga Rp1.230 per kilogram. 
Harga tersebut dibeli ditempat. Artinya toke tersebut langsung datang 
ke lokasi. Sehingga masyarakat merasa terbantu karena tidak ada lagi 
biaya tambahan.
“Sementara jika dijual ke 
pabrik, sudahlah harga dibawah harga toke, petani masih mengeluarkan 
lagi biaya transportasi dan biaya bongkar, akibatnya penderitaan 
masyarakat makin terpuruk, jika dijual ke pabrik yang ada di 
Dharmasraya,” keluhnya.
Menurutnya, petani sekarang 
betul-betul berada dipuncak kekhawatiran. Harga sawit terus merosot 
sementara kebutuhan makin tinggi, belum lagi tahun ajaran baru tinggal 
di ambang pintu. Belum lagi cicilan di bank yang harus dipenuhi.
“Sama-sama kita saksikan saja nanti, kendaraan yang sudah dibeli dengan sistem kredit, akan “berlomba-lomba” menuju lissing untuk
 ditarik karena masyarakat tidak sanggup membayar cicilan tersebut. 
Untuk itu diharapkan kepada pemerintah agar lebih bijaksana melihat 
persoalan tersebut. Sehingga masyarakat tidak hidup dalam 
kesengsaraan,” tegas Aswad. (ita)-Padek Senin, 11/06/2012
[ Red/Administrator ]

 sudah lihat yang ini (klik aja)?
 sudah lihat yang ini (klik aja)? 
 
 
 
