Medan. Gabungan Perusahaan Karet Indonesia
 (Gapkindo) dan Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara sepakat untuk 
menahan dan membatasi jumlah ekspor karet akibat rendahnya harga di 
pasar internasional. Selama periode Januari-April ekspor karet dari 
daerah ini tercatat 226.635 ton, turun dibandingkan periode yang sama 
tahun lalu yang mencapai 269.885 ton akibat permintaan dari negara buyer
 berkurang gara-gara krisis yang menerpa Eropa dan Amerika Serikat.
                  Kepala Dinas Perkebunan 
Sumut Aspan Sofian Batubara di Medan mengatakan, kebijakan itu dilakukan
 karena harga jual di pasar internasional tidak memberikan keuntungan, 
baik untuk petani mau pun pengusaha. Harga karet untuk untuk pengapalan 
Juni diketahui  US$ 3,25 per kg, turun dari US$ 3,43 per kg untuk 
pengapalan akhir Mei 2012 di bursa Singapura. Demikian dikatakannya 
kepada wartawan di Medan, Minggu (17/6).
Dia mengatakan pihaknya
 menyadari jika rendahnya harga karet tersebut disebabkan adanya krisis 
perekonomian di AS dan sejumlah negara di Eropa. Di Indonesia, khususnya
 di Sumut, rendahnya harga karet tersebut cukup terasa karena jatuh 
hingga Rp 10.000-11.000 per kg untuk komoditas dengan kekeringan hingga 
50%.
Sedangkan untuk tingkat pabrik, katanya, harga pembeliannya 
juga jatuh hingga Rp 21.800 hingga Rp 23.800 per kg. Karena itu, dengan 
harapan dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi perekonomian, 
produk karet yang dimiliki selama ini sengaja ditahan untuk tidak 
diekspor.
Produksi karet di Sumut tersebut akan diekspor seperti 
biasa jika harga di pasar internasional membaik. "Ditahan sampai 
harganya mampu meningkatkan kesejahteraan petani," katanya. 
Menurut 
Aspan, kebijakan untuk menahan ekspor karet tersebut tidak akan 
merugikan petani karena pembelian dari masyarakat akan terus dilakukan. 
"Pembelian karet petani tetap dilakukan tetapi tidak seluruhnya 
diekspor," katanya.
Dia menambahkan untuk kepentingan jangka 
panjang, Gapkindo mengharapkan pemerintah dapat membentuk lembaga 
tertentu yang menampung hasil produksi perkebunan. Kebijakan tersebut 
sangat diperlukan agar pengusaha di bidang perkebunan tidak terlalu 
mengalami kerugian jika terjadinya fluktuasi harga.
Kebijakan 
seperti itu telah dilakukan pemerintah untuk sektor pertanian dengan 
mengamanahkan pelaksanaannya ke Bulog untuk membeli berbagai hasil 
tanaman pangan. 
"Kalau untuk pertanian ada yang menampung, kenapa tidak dengan perkebunan," katanya. ( benny pasaribu)

 sudah lihat yang ini (klik aja)?
 sudah lihat yang ini (klik aja)? 
 
 
 
