Pekanbaru.- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan agar pemerintah daerah penghasil minyak sawit mentah (CPO) bisa mendapatkan dana bagi hasil (DBH). Selama ini daerah penghasil minyak kelapa sawit tidak mendapatkan DBH sebagaimana hasil minyak bumi.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Aziz mengemukakannya, Senin (31/10), di kunjungan kerjanya ke Pekanbaru.
Sebelumnya beberapa daerah penghasil sawit di Sumatera pernah
menuntut pengembalian dana bea keluar ekapor CPO guna membenahi infrastruktur daerah. Tapi tuntutan itu tak kunjung terealisasi, padahal pemerintah pusat bisa menangguk dana hingga Rp5 triliun per tahun dari pajak ekspor tersebut. Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Aziz mengemukakannya, Senin (31/10), di kunjungan kerjanya ke Pekanbaru.
Sebelumnya beberapa daerah penghasil sawit di Sumatera pernah
Aziz mengakui saat ini perluasan perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan terus berkembang pesat, terutama di Sumatera Utara dan Riau. Tapi kenyataannya, dia mengatakan, pemerintah daerah belum mengajukan ke pemerintah pusat soal DBH sawit sebagaimana yang berlaku dalam minyak bumi dan gas. Ke depan, katanya, potensi perkebunan kelapa sawit dengan hasil hulu dan hilirnya menjadi salah satu primadona untuk perkembangan perekonomian secara nasional. "Sejauh ini kan belum ada DBH untuk perkebunan kelapa sawit. Karena itu kita mengharapkan bagi daerah penghasil perkebunan sawit untuk segera mengajukan RUU DBH.
Agar hasil perkebunan sawit kelak dapat dinikmati pemerintah daerah sebagaimana DBH Migas," katanya.
Untuk mewujudkan hal tersebut, lanjut Aziz, pemerintah daerah khususnya yang memiliki perkebunan kelapa sawit untuk segera berinisiatif mengajukan naskah tertulis terhadap RUU DBH sawit. Pemerintah daerah harus proaktif untuk bisa menikmati DBH dari sawit tersebut.
"Naskah permohonan RUU DBH sawit ini harus segara diajukan pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Jika nantinya pemerintah pusat tidak begitu respons, kita dari DPR siap untuk menggodok masalah tersebut," katanya.
Sayangnya Aziz tak merinci bagaimana perhitungan DBH dari hasil sawit tersebut. Namun faktanya saat ini pendapatan pemerintah diluar pajak terkait sektor sawit adalah dari pajak ekspor atau bea keluar yang setiap tahun bisa mencapai Rp 5 triliun.
Gubernur Riau Rusli Zainal mengatakan data tahun 2010 luas perkebunan sawit di Riau sudah mencapai 2 juta hektare. Luas tersebut setara dengan sekitar 35% sawit nasional yang saat ini luasnya mencapai 7,3 juta hektare. Diperkitakan secara nasional pertumbuhan perkebunan sawit pada tahun 2014 bisa mencapai 10 juta hektare."Saat ini Riau menjadi salah satu sentral pengembangan kelapa sawit nasional di Indonesia. Namun berdasarkan data statistik, saat ini jumlah perkebunan sawit di Riau masih yang terluas di Indonesia dibandingkan dengan daerah lainnya," katanya.
Pemerintah sendiri diketahui terus menaikkan batas harga bawah pengenaan tarif bea keluar crude palm oil (CPO) menjadi US$ 750 per ton dari sebelumnya US$ 701 per ton. Tapi pemerintah akan menurunkan batas atas tarif bea keluarnya menjadi di bawah 25% tetapi tidak melebihi di bawah 15%. Dengan kata lain batas atasnya berkisar antara 15%-25%.
Begitupun petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menuntut bea keluar itu dihapuskan karena menekan harga sawit yang mereka produksi. Apalagi dana yang terkumpul dari pajak ekspor itu tak kembali ke daerah, melainkan mengendap di pusat, padahal daerah memerlukannya untuk membenahi atau membangun infrastruktur.
Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro menyatakan pemberlakuan bea keluar untuk komoditas strategis seperti CPO tetap diperlukan untuk menjaga agar kebutuhan dan pasokan CPO di dalam negeri tidak terganggu. Dengan demikian diharapkan harga minyak goreng di Tanah Air tidak ikut berfluktuasi."Bea keluar itu awalnya bukan untuk penerimaan tapi efek samping, awalnya menjaga agar kebutuhan dalam negeri tidak terganggu, supaya harga minyak goreng tidak fluktuatif," tegasnya.
Soal tuntutan para petani CPO agar bea keluar dihapuskan, Bambang menegaskan tuntutan tersebut tidak dapat dipenuhi pemerintah. Pasalnya, kebijakan tersebut justru akan membuat kegiatan ekspor CPO tidak bisa dikendalikan dan secara otomatis mengancam ketersediaan minyak goreng dalam negeri.
Bambang justru menduga tuntutan petani tersebut hanyalah permainan dari pengusaha yang merasa potensi keuntungannya berkurang karena tingginya bea keluar sehingga mereka tidak bisa melakukan ekspor. Intinya, sesuai dengan peraturan Menteri Pertanian, harga beli CPO mengikuti harga beli internasional sehingga tidak ada urusan dengan kebijakan bea keluar saat ini. (dtf/ant)