Jakarta. Realisasi pembiayaan untuk  revitalisasi perkebunan masih terhambat berbagai masalah lahan di  daerah-daerah lokasi perkebunan.                   Menurut Direktur Tanaman  Tahunan pada Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian  Rismansyah Danasaputra di Jakarta, Selasa (15/11), permasalahan lahan  yang menghambat realisasi pembiayaan antara lain yang terkait dengan  sertifikasi. "Belum semua lahan petani bersertifikat dan proses  sertifikasi butuh waktu sangat lama," katanya.
Menurut Kepala  Divisi Agribisnis PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kokok Alun Akbar proses  sertifikasi lahan kebun plasma yang mendapat pembiayaan dari program  Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPENRP)  kadang belum selesai dalam tiga sampai empat tahun.
"Karena  masalah itu, sampai saat ini dari 64.578 hektare lahan yang sudah  dibiayai BRI, yang sudah bersertifikat baru 2.103 hektare atau 3,2%,"  kata dia.
Kenaikan biaya sertifikasi menjadi sekitar Rp 6 juta  sampai Rp 8 juta per hektare, lanjut dia, juga cukup membebani petani  karena biaya yang dianggarkan penyedia kredit sesuai dengan ketentuan  Direktur Jenderal Perkebunan hanya Rp 1,5 juta per hektare. "Di samping  itu, penerbitan hak guna usaha pada lahan transmigrasi dengan hak  pengelolaan lahan juga panjang prosesnya," tambahnya. 
Masalah  lahan yang lain, menurut Rismansyah, adalah tumpang tindih dalam  penerbitan izin lokasi lahan perkebunan. "Satu lokasi izinnya bisa untuk  beberapa peruntukan. Bahkan ada satu lokasi di suatu daerah dengan tiga  izin peruntukan sekaligus," katanya.
Belum terbitnya Rencana  Tata Ruang tata Wilayah Propinsi (RTRWP), kata dia, membuat masalah  lahan untuk keperluan revitalisasi perkebunan makin ruwet.
Kondisi  yang demikian, menurut Kokok, menghambat realisasi pembiayaan program  revitalisasi perkebunan karena perbankan butuh kepastian kepemilikan dan  peruntukkan lahan sebelum mengucurkan kredit.
Dia berharap  pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap masalah itu dan segera  mengambil tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikannya. "RTRWP harus  segera diterbitkan dan proses sertifikasi lahan yang dibiayai dengan  program kredit revitalisasi perkebunan sebaiknya dipermudah. Dan  sebaiknya ada koordinasi dan konsistensi dari berbagai instansi yang  terkait dengan program ini," katanya.
Rismansyah mengatakan,  pihaknya akan berusaha melakukan pendekatan ke pemerintah daerah dan  Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengatasi masalah-masalah lahan  tersebut.
Menurut Rismansyah, sampai bulan Oktober 2011 persetujuan  pembiayaan revitalisasi perkebunan yang mencakup komoditi kelapa sawit,  karet dan kakao total Rp 7,56 triliun yang terdiri atas Rp 5,78 triliun  kredit investasi efektif dan Rp 1,77 triliun bunga selama masa  pembangunan (Interest During Construction/IDC). "Paling banyak untuk  usaha perkebunan kelapa sawit," katanya.
Ia menambahkan,  persetujuan pembiayaan revitalisasi perkebunan kelapa sawit mencapai  Rp7,24 triliun, karet Rp275,98 miliar dan  kakao Rp37, 10 miliar.
Sementara  realisasi persetujuan pembiayaan revitalisasi perkebunan, lanjut dia,  sampai Oktober 2011 total baru mencapai 1,29 triliun yang mencakup  27.282 hektare lahan dan 14.235 petani. Cakupan pembiayaan tersebut  masih jauh dari target cakupan lahan revitalisasi perkebunan yakni total  82.128 hektare pada 2011. (ant)/MB

 sudah lihat yang ini (klik aja)?
 sudah lihat yang ini (klik aja)? 
 
 
 
 
No comments:
Post a Comment