"Saat ini memang harga TBS dan CPO ada peningkatan. Salah satu faktornya kemungkinan dikarenakan naiknya mata uang dolar atas rupiah," katanya.
Selain faktor menguatnya mata uang dolar, tambah Aspan, permintaan CPO (crude palm oil) dari luar negeri juga meningkat. Namun, dengan kenaikan harga sawit tersebut bukan berarti muncul upaya dari petani lain untuk mengalihfungsikan tanaman perkebunannya menjadi sawit. "Kalau untuk mendorong petani lain beralih ke sawit belum ada," ungkapnya.
Sementara, pengamat ekonomi Sumut Gunawan Benjamin mengatakan dengan terjadinya pelemahan nilai tukar rupiah atas dolar AS merupakan berkah tersendiri bagi industri berbasis perkebunan kelapa sawit. "Saat ini terlihat saham-saham berbasis perkebunan sawit seperti Astra Agro Lestasi (AALI), London Sumatera Indonesia (LSIP), maupun Sampoerna Agro (SGRO) mengalami kenaikan harga saham yang cukup fantastis. Kenaikannya bahkan berkisar 30 hingga 50 persen sejak terjadi pelemahan nilai tukar rupiah," jelasnya.
Gunawan merincikan, seperti halnya dengan AALI, harga sahamnya sebelumnya yang sempat anjlok ke angka 12.000, saat ini berada pada 19.700. Sementara LSIP yang sempat bertengger diharga Rp 1.000 per lembar saat ini mendekati Rp1.500 per lembar, dan SGRO dari Rp 1.300 mendekati Rp 1.800 per lembar. "Walaupun tidak semuanya dikarenakan pelemahan rupiah, menguatnya saham perkebunan juga dipicu oleh membaiknya harga CPO dunia," sebutnya.
Hal tersebut menurut Gunawan dikarenakan sejumlah negara tujuan ekspor seperti China saat ini mengalami perlambatan, sedangkan Amerika walaupun sudah menunjukan pemulihan, namun belum menjadi motor permintaan kelapa sawit di samping secara keseluruhan, negara di Asia yang menjadi tujuan ekspor kelapa sawit juga masih menunjukan perlambatan.
"Di tahun 2014 mendatang secara nasional ekonomi negara kita diperkirakan kembali pulih. Hampir di semua sektornya. Akan tetapi, pemulihan kinerja ekonomi kita juga didorong oleh ekspor komoditas primer termasuk kelapa sawit. Sehingga apabila dikatakan sawit menjadi motor penggerak ekonomi nasional, bisa saja, karena kontribusinya cukup besar," pungkasnya. (cw 0 Medanbisnis)
Sementara, pengamat ekonomi Sumut Gunawan Benjamin mengatakan dengan terjadinya pelemahan nilai tukar rupiah atas dolar AS merupakan berkah tersendiri bagi industri berbasis perkebunan kelapa sawit. "Saat ini terlihat saham-saham berbasis perkebunan sawit seperti Astra Agro Lestasi (AALI), London Sumatera Indonesia (LSIP), maupun Sampoerna Agro (SGRO) mengalami kenaikan harga saham yang cukup fantastis. Kenaikannya bahkan berkisar 30 hingga 50 persen sejak terjadi pelemahan nilai tukar rupiah," jelasnya.
Gunawan merincikan, seperti halnya dengan AALI, harga sahamnya sebelumnya yang sempat anjlok ke angka 12.000, saat ini berada pada 19.700. Sementara LSIP yang sempat bertengger diharga Rp 1.000 per lembar saat ini mendekati Rp1.500 per lembar, dan SGRO dari Rp 1.300 mendekati Rp 1.800 per lembar. "Walaupun tidak semuanya dikarenakan pelemahan rupiah, menguatnya saham perkebunan juga dipicu oleh membaiknya harga CPO dunia," sebutnya.
Hal tersebut menurut Gunawan dikarenakan sejumlah negara tujuan ekspor seperti China saat ini mengalami perlambatan, sedangkan Amerika walaupun sudah menunjukan pemulihan, namun belum menjadi motor permintaan kelapa sawit di samping secara keseluruhan, negara di Asia yang menjadi tujuan ekspor kelapa sawit juga masih menunjukan perlambatan.
"Di tahun 2014 mendatang secara nasional ekonomi negara kita diperkirakan kembali pulih. Hampir di semua sektornya. Akan tetapi, pemulihan kinerja ekonomi kita juga didorong oleh ekspor komoditas primer termasuk kelapa sawit. Sehingga apabila dikatakan sawit menjadi motor penggerak ekonomi nasional, bisa saja, karena kontribusinya cukup besar," pungkasnya. (cw 0 Medanbisnis)