Quote:
dokumentasi "VERSI" elektronik-ku ini bermaksud membiasakan menggunakan " LESS PAPER " ,serta "PENGHORMATAN ATAS KEBEBASAN BERPENDAPAT,BEREKSPRESI,& BERKREASI," utk menyampaikan informasi,dalam "AKTIVITAS HARIAN".. beberapa "ada" yang dikutip dari berbagai sumber yang *inspiratif* jika ada yg kurang berkenan mohon dimaklumi,jika berminat utk pengembangan BloG ini silahkan kirim via email. mrprabpg@gmail.com...Thank's All Of You

running text

Search This Blog

sudah lihat yang ini (klik aja)?

Tuesday, September 10, 2013

Pilih Prosumer atau DSLR?

Pada forum Chip yang membahas fotografi terdapat sebuah thread yang cukup menarik. Sang penanya rupanya hendak membeli kamera untuk belajar fotografi, dan dia terganjal oleh dilema klasik : pilih kamera prosumer atau kamera SLR digital. Rupanya memang dilema ini banyak dialami oleh para penggemar motret-memotret yang merasa sudah mulai memahami dasar fotografi digital dan ingin melangkah lebih jauh mengeksplorasi dunia fotografi.
Biasanya mereka sudah pernah memakai kamera saku (point and shoot) dan menyadari bahwa kamera jenis ini banyak mengalami keterbatasan akibat semua settingnya yang serba otomatis. Saat selanjutnya mereka ingin membeli kamera lagi yang lebih pro/advanced (dan sebaiknya memang demikian), tibalah mereka pada dilema ini. Saya coba membuat semacam panduan dan perbandingan yang mudah-mudahan dapat memberi jalan keluarnya…
Kamera prosumer/bridge camera/kamera semi-pro, berawal dari solusi tengah-tengah antara kamera saku dan DSLR. Tidak jelas siapa yang pertama memperkenalkan istilah-istilah ini, bahkan kriteria sebuah kamera layak dianggap sebagai kamera prosumer juga sebetulnya tidak jelas bahkan cenderung bias. Saat awal mula kamera prosumer diperkenalkan, harga kamera DSLR saat itu amat tinggi. Tuntutan akan kebutuhan fotografi profesional dengan budget terjangkau membuat kamera prosumer kala itu menjadi laris manis (meski waktu itu harga prosumer tetap saja masih cukup mahal). Namun kondisi saat ini sudah banyak berubah. Semakin murahnya harga kamera DSLR sekarang membuat produsen kamera mulai mengurangi produksi jajaran prosumernya dan lebih fokus untuk bersaing di pasar DSLR (meski tahun ini tampaknya menjadi awal kebangkitan kembali prosumer walau tidak harus mengusung bandrol harga yang tinggi seperti dahulu). Setidaknya, masih banyak orang yang menginginkan kamera jenis ini, karena dengan kamera ini sang pengguna dapat memaksimalkan kemampuan dan kreativitasnya dalam memotret berkat keleluasaan memakai pengaturan eksposure manual dan dukungan lensa (dan sensor) yang sedikit lebih besar dari kamera saku biasa, tanpa harus memiliki kamera dan lensa-lensa DSLR. Meski tidak ada referensi yang pasti, bolehlah saya mendaftarkan beberapa syarat-syarat wajib sebuah kamera pantas menyandang nama prosumer :
  • mempunyai pilihan setelan eksposure lengkap (program, shutter priority, aperture priority, manual)
  • setelan penting lainnya juga harus bisa diatur secara manual (fokus, ISO, white balance, flash, kompresi JPEG dsb)
  • memiliki kualitas lensa yang baik (kontras tinggi, ketajaman pada seluruh rentang zoom baik, distorsi rendah, bukaan lensa maksimal besar saat wide atau tele)
  • memiliki sensor lebih besar (minimal 1/1,8 inci, umumnya 2/3 inci) sehingga didapat dynamic range dan kinerja low-light yang lebih baik
  • tersedia pilihan format file selain JPEG, misalnya TIFF dan RAW
  • menyediakan keleluasaan untuk menambah asesori lensa (filter, wide/tele converter dsb)
  • memiliki kinerja lebih baik daripada kamera saku (kecepatan fokus, shutter-lag, shot-to-shot, burst mode dsb)
  • memiliki fitur penting lain : stabilizer, flash hot shoe, AF assist light, bracketing, viewfinder dengan diopter adjustment.
Kini dengan semakin turunnya harga kamera DSLR, kamera prosumer terus tertekan dan berevolusi menjadi beberapa generasi baru seperti kamera super-zoom yang kini panjang lensanya telah mencapai rekor 20x zoom optik. Tidak ada yang salah memang, sah-sah saja bila produsen berupaya mempertahankan eksistensi prosumernya sehingga harus muncul kamera super-zoom begini (apalagi pasar selalu merespon positif). Hanya saja fakta sekarang ternyata tidak lagi mudah dijumpai kamera prosumer terkini yang benar-benar memberi kualitas hasil foto yang memuaskan (setidaknya dalam kaca mata profesional). Mengapa? Utamanya karena tuntutan pasar akan harga jual prosumer yang harus sedikit dibawah kamera DSLR termurah membuat penurunan kualitas dari prosumer itu sendiri. Kalau DSLR termurah saja sekarang sudah berada di rentang 5 jutaan, prosumer harus lebih murah dari itu (padahal dahulu harga prosumer ada yang sampai 10 jutaan). Hingga akhirnya prosumer masa kini lebih cenderung menjadi kamera point-and-shoot biasa namun berfitur lengkap dan dapat dioperasikan secara manual.
Nah, kembali ke topik awal, apa yang membuat kamera seperti ini masih tetap diperhitungkan saat seseorang berencana membeli kamera advanced? Barangkali inilah beberapa alasan yang umum dikemukakan orang :
  • Harga. Ya, tentu saja, sebuah kamera prosumer yang berharga 4 juta misalnya, sudah lengkap dengan lensa. Faktor harga ini jadi alasan utama mengapa tidak semua orang bersedia membeli kamera DSLR. Apalagi ada anggapan bahwa dengan membeli kamera DSLR, dia akan mengalami efek domino karena setelah itu harus membeli jajaran lensa-lensanya, lampu kilatnya, filternya, battery gripnya dan asesori lain yang jika ditotal-total biaya investasinya akan membuat kaget sendiri.
  • Praktis. Sebuah kamera prosumer masih relatif lebih kecil daripada kamera DSLR sehingga cukup praktis dan ringan (tidak semua orang suka menenteng kamera yang beratnya mencapai beberapa kilogram). Apalagi memakai kamera DSLR bila punya banyak lensa akan repot saat sering mengganti lensa (dan kemungkinan ada debu yang masuk kedalam kamera DSLR dan menempel di sensornya).
  • Fitur movie. Inilah alasan yang tidak bisa disangkal mengingat sampai sekarang belum ada DSLR yang bisa merekam video. Dengan memiliki kamera prosumer ternyata juga bisa dimanfaatkan menjadi camcorder yang bisa merekam video. Bahkan kamera saku biasa sudah ada yang bisa merekam video berkualitas HD (ya, HD! bukan VGA) dengan audio stereo berkat memakai kompresi terkini MPEG-4 AVC.
(Foto perbandingan : kiri prosumer Fuji S100FS, kanan DSLR Pentax K200D. Meski keduanya adalah jenis kamera yang berbeda, namun dua-duanya tampak mirip kan?)
Meski demikian sebelum benar-benar mengambil keputusan dalam memilih, ada baiknya kita juga mengetahui keterbatasan dari kamera prosumer. Setidaknya, meski akhirnya seseorang telah menjatuhkan pilihannya pada kamera prosumer, dia tidak harus kecewa pada pilihannya. Inilah beberapa kompromi yang harus diterima :
  • Meski mampu memberi hasil foto yang baik, prosumer tetap terganjal oleh keterbatasan seperti kualitas dan rentang lensanya, ukuran sensornya yang kecil dan kualitas A/D converternya. Hasilnya, kualitas hasil foto kamera prosumer tidak bisa sebaik kamera DSLR, dan akan semakin kalah bila dipakai pada kondisi kurang cahaya (saat memakai nilai ISO tinggi).
  • Jangan berharap kecepatan auto fokus yang tinggi pada prosumer. Sistem auto fokus DSLR menggunakan metoda phase detect yang jauh lebih unggul dibanding kamera biasa yang memakai contrast detect. Untuk mengunci fokus pada objek foto yang selalu bergerak tentu menjadi hal yang ‘enteng’ buat kamera DSLR, namun tidak demikian apabila memakai kamera prosumer. Belum lagi pada prosumer kemampuan auto fokusnya akan melambat pada saat mencari fokus pada obyek yang agak gelap atau saat memakai zoom maksimal.
  • Sebagaimana kinerja auto fokus, kinerja shutter dari kamera prosumer juga tidak seresponsif kamera DSLR. Meski semakin disempurnakan, waktu jeda antara tiap pemotretan (shot-to-shot) dan delay saat shutter ditekan dan kamera mengambil gambar (shutter-lag) pada kamera prosumer tetap kalah dengan kamera DSLR. Hal ini berpengaruh pada kemungkinan kehilangan momen-momen penting karena ‘keterlambatan’ ini.
  • Terkadang membidik melalui viewfinder pada prosumer menjadi masalah tersendiri terutama untuk memotret objek yang bergerak atau saat kurang cahaya. Hal ini karena viewfinder pada prosumer umumnya menggunakan LCD, bandingkan dengan viewfinder pada DSLR yang menerima gambar langsung dari lensa. Apalagi DSLR kelas atas memakai viewfinder prisma yang lebih terang, bahkan DSLR Full Frame memiliki viewfinder yang lebih luas dari DSLR biasa berkat sensornya yang lebih besar.
  • Keterbatasan kreativitas cepat atau lambat akan dirasakan pemakai kamera prosumer. Bagi yang ingin membuat foto dengan background blur (bokeh) akan merindukan lensa SLR bukaan besar. Bagi yang ingin membuat foto dengan efek cahaya dari beberapa lampu kilat akan merindukan sistem creative-lighting dari beberapa flash yang dikendalikan secara wireless.
Setidaknya inilah beberapa kompromi yang akan diterima bagi pemakai kamera prosumer. Bila memang poin-poin diatas tidak menjadi masalah buat anda, prosumer dapat menjadi pilihan anda. Sedikit tips, baiknya pilihlah prosumer yang lensanya bermula dari 28mm (atau bahkan kurang) sehingga bisa didapat foto-foto wideangle yang dramatis.
Namun apabila ternyata kompromi diatas tadi tidak dapat diterima, artinya jawabannya jelas. Anda membutuhkan kamera DSLR. Well, kenapa tidak? Go for it.. kamera DSLR sekarang sudah sangat murah dan fiturnya makin canggih dengan sistem live-view dan sistem anti debu/dust reduction.

sumber :
 http://gaptek28.wordpress.com/2008/04/08/pilih-prosumer-atau-dslr/

cari apa aja di OLX

Sponsor By :

TEMBAKAU DELI

Hobies

Momentum