PALEMBANG — Pengusaha sawit menilai industri pengolahan sawit dapat
berkontribusi besar terhadap pemulihan ekonomi dalam negeri menyusul
proyeksi peningkatan ekspor komoditas itu di pasar global.
Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (Gapki), Tungkot Sipayung, mengatakan ekspor minyak sawit
mentah (crude palm oil/CPO) sudah mencapai 20 juta ton dengan nilai nett
ekspor mencapai US$10,5 miliar hingga Juni 2013.
“Kami proyeksi sampai akhir tahun nilai ekspor CPO bisa tembus US$25
miliar hingga akhir tahun ini atau meningkat dari realisasi pada 2012
yang sebesar US$23 miliar,”katanya di sela acara seminar nasional dan
muscab Gapki Sumsel, Rabu (11/9).
Gapki mengklaim CPO merupakan penyumbang terbesar ekspor nasional
dari komoditas non migas di mana mencapai 80% dari nilai total ekspor
RI.
Melihat besarnya kontribusi tersebut, lanjut Tungkot, pihaknya
berharap pemerintah dapat terus memberi dukungan untuk memajukan
industri perkebunan sawit. Salah satunya dengan penurunan bea keluar
untuk peningkatan nilai ekspor dan penerapan CPO sebagai bahan bakar
nabati untuk mengurangi impor migas.
“Itu [pemakaian bahan bakar nabati] bisa jadi solusi untuk mengurangi
defisit neraca transaksi berjalan, Gapki siap dan sangat mendukung
rencana tersebut,”katanya.
Menurut Tungkot, selama ini yang menjadi faktor utama penghambat
ekspor CPO bukanlah isu lingkungan melainkan kondisi ekonomi negara
tujuan. Pasar CPO Indonesia sendiri sangat bergantung pada China, India
dan Eropa.
Industri sawit, kata dia, tidak terpengaruh dengan depresiasi rupiah
karena industri itu tidak memerlukan impor barang. Justru saat ini, di
mana kondisi negara tujuan ekspor pulih memberi berkah tersendiri untuk
pengusaha CPO karena permintaan dari negara-negara itu meningkat.
Ketua Gapki Sumsel Sumarjono Saragih menambahkan meski telah berperan
besar terhadap ekspor nasional tetapi pihaknya tidak melihat kontribusi
negara terhadap pengembangan perkebunan sawit.
“Bea keluar CPO pada 2012 lalu mencapai Rp21 triliun seharusnya
pemerintah bisa ‘mengembalikan’ untuk kemajuan perkebunan sawit tetapi
hal itu tidak terlihat,”paparnya.
Dia melanjutkan, industri sawit juga terhadang kendala sejumlah
regulasi yang diterbitkan pemerintah daerah, misalnya pungutan untuk
penerangan jalan dan perda larangan kendaraan perkebunan melewati jalan
umum.
Gapki sendiri juga tetap menolak rencana revisi Permentan No 26 Tahun
2007 yang salah satu poinnya akan membatasi luasan maksimal lahan hanya
10.000 hektare. Menurut asosiasi itu pembatasan itu tidak berdasar.
“Tidak ada gunanya pembatasan itu. Kami malah mendukung jika
pemerintah ingin menaikkan aturan luasan plasma menjadi 40% dari total
lahan yang dikelola. Itu tidak masalah,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Pertanian Suswono mengatakan pihaknya mendorong pemakaian CPO untuk bahan bakar nabati.
Menurut dia, kebutuhan akan CPO untuk bahan bakar nabati dapat
mencapai 3,5 juta ton per tahun dengan asumsi pencampuran (blending) 10%
dengan bahan bakar solar.
“Kalaupun nanti produksi sawit terlalu banyak atauover suplai maka
strategi konversi ke bahan bakar nabati ini yang menjadi solusinya,
supaya harga tetap stabil,” katanya.
Indonesia merupakan salah satu produsen CPO terbesar di pasar global
di mana tercatat produksinya mencapai 28 juta ton CPO dengan luasan
areal sekitar 8,9 juta hektare.
Suswono menambahkan pihaknya juga akan fokus pada peningkatan produktivitas perkebunan sawit rakyat yang masih tergolong rendah.
Seperti diketahui, 40% dari sekitar 8,9 juta hektare total luas
perkebunan sawit di Indonesia merupakan lahan sawit yang dikelola oleh
petani rakyat dengan angka produktivitas di bawah 4 ton tandan buah
segar (TBS) per ha.(dwu/msi)/B-S