Medan.
Inpres tentang pedomaan kebijakan upah minimum provinsi (UMP) yang
berisi beberapa ketentuan sebagai acuan kepala daerah dengan adanya
batasan maksimal kenaikan 10% di atas inflasi, membuat gerah
buruh/pekerja di seluruh Indonesia, termasuk Sumatera Utara (Sumut).
Apalagi, dalam Inpres tersebut untuk upah minimum padat
karya dan industri menengah dipatok 5% di atas inflasi. Padahal, jumlah
buruh/pekerja di sektor ini cukup tinggi.
"Kita menolak Inpres
tersebut dan menjamin kalau penetapan UMP tahun 2014 tetap berdasarkan
survei kebutuhan hidup layak (KHL) oleh Dewan Pengupahan Daerah
(Depeda). Artinya, persentase kenaikannya bukan ditentukan pemerintah
pusat dalam bentuk Inpres yang hanya 5-10 persen tapi tetap merujuk pada
hitungan KHL," kata Ketua Depeda Sumut, Edward Pakpahan, kepada
MedanBisnis, Minggu (22/9) di Medan.
Edward mengatakan, tanpa
Inpres pun, sebenarnya selama ini pemerintah sudah menahan kenaikan upah
dengan penentuan item dalam KHL yang bukan kebutuhan utama. "Misalnya
sabun colek dan ikat pinggang. Ini bukan kebutuhan pokok. Selain itu,
nilainya pun sangat kecil. Selama ini, dengan survei KHL, kenaikan upah
pun paling tinggi hanya di level 12%. Jadi pemerintah yang lebih pro
upah murah, kini malah semakin bertingkah dengan mengeluarkan Inpres.
Lalu buruh akan semakin terjepit," jelasnya.
Menurut Edward,
penentuah upah berdasarkan KHL, inflasi dan pertumbuhan ekonomi, sudah
sangat tidak menguntungkan. "Presiden SBY memang tidak becus mengurus
negara ini, terutama menyangkut buruh. Presiden tidak pernah pro buruh.
Terutama dengan tidak adanya jaminan bagi dunia usaha hingga membuat
banyak pengusaha lari ke luar negeri dan mengakibatkan PHK. Belum lagi
tidak tersedianya energi seperti listrik dan gas di Sumut hingga
pengusaha rugi puluhan miliar rupiah. Makanya kita sebut pemerintahan
ini rezim upah murah," tegas Edward.
sumber : MedanBisnis