BANJARMASIH--Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) berharap
pemerintah menurunkan pajak ekspor minyak sawit mentah (CPO) dari 9%
menjadi 3% untuk membantu pengusaha mengatasi turunnya harga sawit
internasional saat ini.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa
Sawit Indonesia (Gapki) pusat Joefly J Bahroeny mengungkapkan, tingginya
pajak ekspor CPO sangat memberatkan pengusaha.
"Kalau tujuan
tingginya pajak karena untuk mendorong hilirisasi, saat ini akan sulit
tercapai, karena kebutuhan CPO nasional hanya sekitar 8 juta ton per
tahun," katanya pada pelantikan pengurus Gapki Kalsel seperti dikutip Antara, Rabu (30/10/2013).
Sedangkan
produksi CPO nasional, kini telah mencapai 28 juta ton, artinya ada
kelebihan sekitar 20 juta ton per tahun, yang memang tidak mungkin
ditahan di dalam negeri.
Menurut dia, bila pemerintah tetap
memaksakan kehendak agar CPO untuk memenuhi produksi dalam negeri, akan
sangat memberatkan pengusaha, karena kelebihan stok.
"Produksi
yang cukup banyak tersebut, tidak mungkin kita buang, jadi harus tetap
diekspor, agar pengusaha tidak terlalu berat, kita menuntut agar
pemerintah bisa menurunkan pajak ekspor sebagaimana negara lain seperti
Malaysia yang kini cukup rendah," katanya.
Saat ini tambah dia,
produksi CPO di Indoensia berkembang sangat pesat, dari sebelumnya hanya
dua provinsi yaitu Sumatra dan Aceh, kini telah berkembang ke 23
provinsi dari 33 provinsi di Indonesia.
Begitu juga dengan luasannya, dari sebelumnya hanya 0,28 juta ha pada tahun 1979, kini telah mencapai hampir 9 juta ha.
"Yang
menggembirakan, dari 9 juta ha tersebut, 43% atau 3,7 juta ha adalah
milik petani plasma, yang artinya keuntungan terbesar juga dirasakan
langsung oleh para petani," katanya.
Sisanya, 49% adalah milik swasta, dan 8% milik BUMN.
Tingginya
lahan milik petani plasma tersebut, terjadi karena regulasi di sektor
perkebunan kelapa sawit yang banyak memihak masyarakat, di mana adanya
ketentuan bahwa setiap perusahaan harus menyisihkan 20% dari lahannya
untuk petani plasma.
Kondisi tersebut, berbeda dibanding
tahun-tahun sebelumnya, dari 0,28 juta ha, terdiri 68% milik BUMN dan
32% milik swasta, di mana petani kurang dilibatkan.
"Pertumbuhan
perkebunan kelapa sawait di Indonesia cukup pesat, dan kini telah
menduduki urutan pertama untuk produksi sawit dunia," katanya.
Kondisi
tersebut, kata dia, tentu sangat menguntungkan, bukan hanya bagi petani
kelapa sawit tetapi juga bagi investor dan pemerintah. (ra)
Bisnis.com
-
Rabu, 30 Oktober 2013