“Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat tinggi Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) 2013 diharapkan bisa menekan AS dan Uni Eropa agar produk CPO mendapatkan kelonggaran. Investor di sektor CPO kebanyakan berasal dari AS dan Uni Eropa,” kata anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Golkar, Siswono Yudhohusodo, di Jakarta, Rabu (2/10).
Indonesia, menurut Siswono, masih kurang yakin meskipun telah menjadi negara terbesar yang memproduksi kelapa sawit sejak lima tahun terakhir.
“Untuk patokan harga CPO dunia justru menggunakan ringgit Malaysia. Padahal, Indonesia masih mengungguli Malaysia untuk produksi CPO dan tahun ini, produksi CPO Indonesia mencapai 25 ton, sedangkan Malaysia hanya 18,9 juta ton,” paparnya.
Pemerintah, lanjut Siswono, harus memiliki keberanian untuk memasukkan minyak kelapa sawit dan karet ke dalam daftar produk ramah lingkungan yang mendapat pengurangan tarif hingga 5%.
“Indonesia harus bisa membujuk negara-negara APEC dengan memasukkan CPO sebagai produk yang bukan hanya ramah lingkungan, tetapi juga memberikan kontribusi pada program pengentasan kemiskinan dan pembangunan desa,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei 2013, ekspor lemak dan minyak hewan/nabati Indonesia naik US$311,9 juta dari US$1.400,4 juta pada April 2013 menjadi US$1.712,3 juta. (imq21)
Author: Indra BP