Medan.
Sekitar sejuta hektare lahan perkebunan di Sumatera Utara (Sumut)
kurang terawat dan banyak terserang hama dan penyakit. Kemunculan hama
dan penyakit tersebut disebabkan kurangnya sanitasi. Petani umumnya
menjadikan perkebunan sebagai komoditas sampingan sehingga perlakuanya
kurang maksimal.
Pengaruh selanjutnya, produktivitasnya rendah.
Kepala Bidang Pengendalian Hama Dinas Perkebunan Sumut
kepada MedanBisnis, kemarin di Medan mengatakan, dari sekitar 2 juta
hektare lahan perkebunan di Sumut, setengahnya adalah milik masyarakat.
Selebihnya, terbagi menjadi milik PTPN, perusahaan swasta asing dan
swasta nasional.
Namun, biarpun jauh lebih luas, pengelolaannya
kurang maksimal. Salah satu contoh yang paling jelas, petani kurang
memperhatikan sanitasi atau kebersihan. Sehingga menyebabkan timbulnya
hama dan penyakit.
Menurutnya, petani kerapkali nmembiarkan
timbunan daun, ranting dan kayu membusuk di areal perkebunannya.
Padahal, dengan banyaknya timbunan tersebut, menjadi ‘rumah’ bagi
berkembangnya hama dan penyakit. "Misalnya, untuk serangan hama
penggerek batang buah yang menyerang kakao, jamur akar putih pada karet,
penggerak buah pada kopi, dan ulat api di kelapa sawit. Itu berkaitan
dengan sanitasi, tapi itu juga yang jarang dilakukan petani kita,"
ungkapnya.
Selain itu, petani juga terlalu cepat menggunakan
pestisida kimia dibandingkan pestisida nabati yang lebih ramah
lingkungan. Seharusnya, penggunaan pestisida kimia hanya dilakukan
ketika tidak ada solusi lainnya. "Rentetan dampaknya jelas, sanitasi
kurang, pengggunaan pestisida juga tinggi, itu juga yang mempengaruhi
hama dan penyakit terus muncul," katanya.
Sebelumnya, petani
kakao di Dusun Hutaimbaru, Desa Luat Lombang, Kecamatan Sipirok,
Tapanuli Selatan, Osmar Ritonga mengungkapkan, setiap kali panen, kakao
yang ditanamnya seluas 4 hektare dengan umur tanam 9 tahun hanya bisa
menghasilkan kakao sebanyak 25 kg. "Hanya sedikit tanaman yang berbuah
meskipun sudah diberi pupuk," katanya. (dewantoro)MB