Quote:
dokumentasi "VERSI" elektronik-ku ini bermaksud membiasakan menggunakan " LESS PAPER " ,serta "PENGHORMATAN ATAS KEBEBASAN BERPENDAPAT,BEREKSPRESI,& BERKREASI," utk menyampaikan informasi,dalam "AKTIVITAS HARIAN".. beberapa "ada" yang dikutip dari berbagai sumber yang *inspiratif* jika ada yg kurang berkenan mohon dimaklumi,jika berminat utk pengembangan BloG ini silahkan kirim via email. mrprabpg@gmail.com...Thank's All Of You

running text

Search This Blog

sudah lihat yang ini (klik aja)?

Wednesday, October 2, 2013

Ratifikasi FCTC WHO Rugikan Sektor Tembakau

 
 
 
IMQ, Jakarta —  Peneliti Indonesia for Global Justice, Salamuddin Daeng, menilai ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) World Health Organization (WHO) akan membawa konsekuensi yang besar terhadap sektor tembakau pada tingkat nasional.
“Kebijakan kontrol tembakau melalui sisi permintaan sebagaimana diatur dalam Pasal 6-7 FCTC. Pasal itu mengatur tentang kebijakan pajak dan harga, serta non-harga untuk mengurangi permintaan terhadap tembakau akan berbentuk kebijakan kenaikan pajak, kenaikan cukai sebagai cara meningkatkan harga rokok,” katanya di Jakarta, Rabu (2/10).

Padahal dalam kenyataannya, menurut Salamuddin, kebijakan kenaikan pajak atau cukai tembakau akan berimplikasi langsung terhadap kebangkrutan industri kecil. Cukai tembakau merupakan komponen biaya terbesar dalam industri tembakau yang harus dibayarkan sebelum berproduksi.

“Pada Pasal 9-10 FCTC yang mengatur tentang aturan dan keterbukaan kepada publik, kandungan/komposisi produk tembakau dapat menjadi regulasi yang memberatkan bagi industri rumahan tembakau. Dibutuhkan biaya yang sangat besar bagi uji laboratorium, dan biaya lainnya yang harus dibayarkan pada instansi berwenang dalam menilai kandungan bahan bahan dalam rokok, persyaratan ini akan sangat melelahkan bagi industri kecil dan menengah,” paparnya.

Pasal 17 FCTC, lanjut Salamuddin, tentang mengendalikan sisi suplai tembakau melalui kegiatan ekonomi alternatif merupakan pasal yang selama ini telah menuai protes dari kalangan petani tembakau nasional. Jika pasal ini diberlakukan maka secara otomatis para petani akan kehilangan sumber pendapatannya.

“Bagi kalangan industri nasional, pasal ini sangatlah membahayakan mengingat tidak adanya pasokan tembakau dari petani dalam menghasilkan kretek maka akan menimbulkan konsekuensi impor. Padahal impor dikendalikan oleh kartel internasional yang harganya tidak menentu, selain itu tembakau-tembakau impor akan mengubah citarasa dari produk yang dihasilkan oleh industri nasional,” ujarnya.

Salamuddin menambahkan, proyek global anti tembakau telah muncul sejak awal 1990-an dan menjadi agenda resmi organisasi kesehatan dunia WHO yang meluncurkan proyek prakarsa bebas tembakau 1998.

“FCTC masuk ke dalam hukum nasional negara melalui ratifikasi menjadi UU dan menyusup ke dalam UU sektoral di banyak negara. Proyek anti tembakau sebagian besar dibiayai oleh perusahaan farmasi multinasional, seperti Pharmacia dan Upjhon, Novartis, Glaxo yang sangat aktif mendanai WHO melalui proyek parakarsa bebas tembakau,” tuturnya.

Bagi perusahaan multinasional atau pemerintahan negara-megara maju, adopsi atau ratifikasi FCTC tidak akan banyak membawa pengaruh terhadap ekspansi bisnis, mengingat perusahaan multinasional dan negara-negara maju memiliki instrumen perlindungan internasional yang lain dan dapat digunakan secara efektif untuk mendukung operasi mereka secara internasional, regional.

Kedua instrumen tersebut yakni, Bilateral Investment Treaty (BIT) dan Perjanjian perdagangan bebas World Trade Organization (WTO) atau Free Trade Agreement (FTA).
 IMQ,

cari apa aja di OLX

Sponsor By :

TEMBAKAU DELI

Hobies

Momentum